Sejauh ini hasil produktivitas atau hasil panen padi di Indonesia sangat bervariasi anatara 3,5 ton hingga 10 ton per hektar gabah kering panen. Bervariasinya hasil panen ini dipengaruhi banyak faktor baik kondisi lahan, teknik budidaya maupun sarana produksinya. Hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah faktor sumber daya petaninya (skill dan knowledge).
Kondisi tersebut menujukkan bahwa sistem budidaya padi di Indonesia membutuhkan kawalan teknologi spesifikasi lokasi sesuai dengan agro-ekologi setempat dan panduan budidaya yang tepat serta dukungan saprodi yang memadai. Kata kunci dalam peningkatan produktivitas pertanian padi di Indonesia adalah adanya usaha dimulai sejak awal pemilihan bibit dan penanganan bibit (seed treatment), pemupukan berimbang, penanganan hama terpadu, dan penanganan pasca panen yang tepat. Namun dalam artikel ini, hanya mengulas mengenai perlakuan benih dan pemupukan berimbang.
Perlakuan benih padi
Berkaitan dengan seed tratment atau perlakukan terhadap benih, para petani padi sampai saat ini masih belum terbiasa memanfaatkan “teknologi” perlakukan benih (seed treatment). Padahal untuk tanaman jagung, penggunaan fungisida sebagai seed treatment sudah sangat biasa. Karena memang pada tanaman jagung, penyakit bulai (downy mildew) masih menjadi ancaman. Namun demikian pada tanaman padi penggunaan seed treatment akan memberikan banyak manfaat dalam perlindungan dini penyakit di persemaian.
Beberapa jenis seedtreatment yang dapat digunakan adalah agen hayati seperti Potensida dari Petrosida, Benprima dari PT Biotis Agrindo, Orizaplus dari PT Prima Agro Tech, juga secara kimiawi yaitu fungisida Tiflo 80WP (bahan aktif Thiram 80%) dari Taminco yang dipasarkan oleh PT Rolimex Kimia Nusamas.
Dosis penggunaan Orizaplus adalah 5 gram untuk 5 kg benih yang dilarutkan dalam air rendaman. Sedangan dosis penggunaan Tiflo 80WP juga sama 5 gram (1 sendok makan) untuk 5 kg benih yang selanjutnya dilarutkan dalam air dan menjadi media rendaman benih padi.
Pemupukan Berimbang
Dosis pemupukan urea secara umum adalah 250-300 kg per hektar yang diberikan 2 kali, yaitu pada umur 8-15 hari setelah tanam (HST) sebanyak 125-150 kg/ha dan setelah umur 45 HST diberikan sisanya.
Penggunaan pupuk P dan K ditentukan berdasarkan analisa tanah, secara umum pupuk SP36 yang digunakan sebanyak 50-100 kg/ha dan KCL sebanyak 50-75 kg/ha. Atau menggunakan pupuk majemuk NPK jika menggunakan panduan resep dari PT Petrosida Gresik menggunakan formula 5:3:2. Yaitu 500 kg Petrogani, 300 kg Phonska (15-15-15), dan 200 Kg Urea.
Beberapa petani menggunakan pupuk KNO3 pada proses pemupukan pertama dan kedua. Pupuk KNO3 merupakan sumber Kalium (K) dan Nitrogen (N) tapi dalam bentuk nitrat, sehingga penggunaanya sangat sedikit tapi cepat terserap oleh tanaman. KNO3 dipasaran dapat ditemukan dalam 2 jenis yiatu KNO3 Merah dan KNO3 putih. Perbedaannya adalah kandungan hara “K” pada KNO3 merah lebih sedikit dibanding KNO3 putih. Dan kandungan KNO3 Merah terdapat 4 unsur yaitu N, K, NA dan unsur mikro Boron (B). KNO3 ini bisa diaplikasikan secara penaburan (dicampur dengan pupuk), pengocoran maupun penyemprotan daun (foliar spray).
Pupuk KNO3 Putih
Penggunaan pupuk KNO3 putih dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar, merangsang pertubuhan vegetatif dan meningkatkan jumlah anakan sehingga KNO3 putih cocok untuk diaplikasikan pada pemupukan pertama untuk mendorong perkembangan tanaman pada fase vegeatatif.
Pupuk KNO3 Merah
Manfaat aplikasi KNO3 Merah adalah mempercepat pertumbuhan bunga dan buah, meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kualitas buah, biji dan umbi. Kandungan Boron pada KNO3 Merah berguna untuk membantu meningkatkan transportasi karbohidrat dalam tanaman. KNO3 Merah diaplikasikan pada waktu pemupukan kedua untuk mendorong perkembangan tanaman padi pada fase generatif.